Kenapa Trump Perketat Visa dari Sejumlah Negara Muslim ke AS

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan akan membatasi perjalanan bagi warga dari sejumlah negara Muslim atau mayoritas Muslim ke Amerika Serikat. Pembatasan itu dikabarkan akan mulai berlaku pekan depan, dengan kode daftar merah diberikan kepada negara yang visanya tak diterima di AS.

Menurut seorang pejabat, negara-negara yang masuk dalam kategori itu sama dengan negara yang sebelumnya pernah terdaftar. Mereka antara lain Iran, Suriah, Yaman, Sudan, Somalia, Venezuela, Kuba, dan Korea Utara.

Ada beberapa alasan yang diutarakan oleh Trump dan pemerintahannya terkait kebijakan tersebut :

Keamanan Nasional

Alasan utama yang disampaikan adalah untuk meningkatkan keamanan nasional Amerika Serikat. Pemerintah Trump mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk melindungi negara dari potensi ancaman terorisme yang datang dari negara-negara tertentu yang memiliki hubungan dengan kelompok ekstremis atau teroris.

Mencegah Masuknya "Penyusup" atau Teroris

Trump berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk mencegah kelompok teroris atau individu yang berniat buruk untuk memasuki AS dengan alasan pengungsi atau imigrasi. Ia menyatakan bahwa dengan memperketat pengawasan terhadap negara-negara tertentu, AS dapat meminimalkan risiko ancaman dari orang-orang yang berpotensi membahayakan negara.

Reformasi Imigrasi

Kebijakan tersebut juga bagian dari upaya Trump untuk mereformasi sistem imigrasi di AS, yang menurutnya terlalu longgar dan tidak cukup efektif dalam menjaga keamanan negara. Trump ingin meningkatkan kontrol terhadap siapa saja yang bisa memasuki negara tersebut.

Dukungan dari Pemilih dan Pendukung

Kebijakan ini juga sejalan dengan janji kampanye Trump pada 2016 yang menyatakan bahwa dia akan mengambil langkah tegas terhadap imigrasi, terutama dari negara-negara yang dianggap berisiko tinggi terkait terorisme. Kebijakan ini mendapat dukungan dari sebagian pemilih konservatif yang menginginkan kebijakan imigrasi yang lebih ketat.

Namun, kebijakan ini menuai banyak kritik, baik dari dalam maupun luar negeri. Kritikus menilai bahwa larangan tersebut bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia, karena secara khusus menargetkan negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim.

Pada akhirnya, kebijakan ini melalui serangkaian proses hukum, termasuk perlawanan dari pengadilan dan penyesuaian beberapa kali, sebelum akhirnya pada masa pemerintahan Presiden Joe Biden, sebagian besar bagian dari larangan tersebut dicabut. Kebijakan ini mengundang perdebatan panjang tentang keseimbangan antara keamanan nasional dan hak-hak individu, serta dampaknya terhadap hubungan internasional.